Singapore Flyer

Cerpen Firman Fadilah (Radar Kediri, 12 September 2021)

SEPERTI bianglala itu, hidup kadang naik dan turun, kadang mengutuk takdir ketika di bawah dan memupuk dendam ketika di atas. Sementara, perubahan adalah hal yang paling konstan di dunia ini. Apakah hidup hanya sebatas permainan?

Takdir terlalu rumit untuk dibaca. Tiba-tiba aku ingin memeluk Singapore Flyer di hadapanku ini, membawanya pulang dalam bentuk kado diorama, kemudian memberikan itu kepada Ibu, Ayah, dan keluarga, serta yang paling utama adalah untuk orang-orang yang selalu menganggap hal ini mustahil, di luar batas nalar siapa pun.

Matahari cerah pagi itu. Langit biru memantul di atas permukaan gelombang hingga merasuk jauh ke dalam bentang Teluk Marina. Angin yang berlalu membawa lembap uap air teluk dan aku seolah sedang berada di dalam mimpi. Hanya ada ketakjuban dan perasaan tak ingin pulang ke dalam nyenyak tidurku.

Aku memandang ke atas bianglala setinggi 165 meter itu. Dua puluh delapan kapsul pengamatan berbentuk seperti tabung itu bergerak lamban, berputar tiga ratus enam puluh derajat dalam waktu tiga puluh tujuh menit. Aku menyisir pandangan ke arah gedung-gedung pencakar langit yang super tinggi, sama tingginya seperti cita-citaku dulu untuk mengunjungi negara ini.

Sejurus kemudian, pandangan teralihkan oleh gerakan awan putih yang jarang. Mereka bergumul seperti domba di padang rumput. Langit itu kemudian menjadi layar kaca yang memutarkan adegan-adegan penuh kenangan dan air mata. Sedikit sesak mengingat itu. Namun, dunia terus berputar, kadang naik dan turun, seperti Singapore Flyer itu, seperti takdir hidupku kini.

“Apa cita-citamu ketika sudah besar nanti?” tanya Bu Guru suatu waktu di ruang kelas. Ada yang menjawab ingin jadi dokter, petani, pengusaha, guru, presiden, menteri, dan insinyur. Semuanya disertai alasan mengapa memilih cita-cita itu.

“Aku ingin pergi ke Singapura,” jawabku.

Ada yang tertawa. Pergi ke Singapura dijadikan sebuah cita-cita. Bukankah itu terlalu rumit, konyol, dan mustahil bagi anak kampung sepertiku? Teman-teman mulai meledek.

“Kamu mau jadi TKI seperti ibumu, kah? Hahaha.”

“Kamu mau jadi pembantu?”

“Ada-ada saja kau ini!”

“Jangan lupa, ya, cari majikan yang baik. Jangan sampai pulang[1]pulang punya anak dari majikan. Hahaha.”

Aku diam saja sambil menelan bulat-bulat ejekan mereka. Seketika aku teringat Ibu yang sudah dua tahun ini tidak pulang. Kontrak kerjanya belum selesai. Ia bekerja sebagai TKI di Singapura. Pasalnya, Ayah sudah tidak bisa bekerja dikarenakan kecelakaan yang menyebabkan kaki kirinya harus diamputasi. Tidak ada keahlian yang Ibu punya selain tenaga. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjuang ke negeri orang demi sesuap nasi dan bekal pendidikanku.

Di sela ejekan teman-temanku, jauh di dalam hatiku, aku bangga mempunyai Ibu yang sangat peduli dengan pendidikanku. Ia tidak mengizinkanku untuk berhenti sekolah. Aku sudah hampir putus asa sebab biaya pendidikan makin hari makin mahal bagi kami orang dengan ekonomi pas-pasan.

Ibu tidak pernah menyerah dan berpangku tangan kepada takdir. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk mengimbangi kerja keras Ibu. Aku yang tidak pandai di kelas, selalu mendapat nilai dan ranking paling bawah mulai sadar akan pentingnya pendidikan. Aku yakin suatu saat nanti bisa membuat kedua orang tuaku bangga dan merubah nasibku.

Ejek-ejekan itu menjadi api pemantik semangat di dadaku. Setiap kali aku malas belajar, aku selalu ingat kata-kata ejekan mereka, Ibu, Ayah, dan cita-citaku. Aku ingin kuliah di luar negeri dan kembali untuk mengamalkan ilmu di tanah airku. Aku pajang foto Ibu dan Ayah di dinding kamar. Foto-foto Singapura, Patung Merlion, Marina Bay, Singapore River, dan Singapore Flyer. Gambar-gambar itu tertempel di dinding agar aku merasa dekat dengan mereka.

Perubahan demi perubahan tampak berkembang. Nilaiku membaik. Aku sempat memperoleh juara kelas. Aku lulus dengan nilai tertinggi se-provinsi dan langsung mendapat tawaran beasiswa ke Singapura. Sungguh rencana Tuhan yang sangat sulit diperhitungkan dengan algoritma matematika. Rencana indah yang tidak disangka-sangka. Aku memeluk Ayah dan Ibu dengan isak tangis di pangkuan mereka.

***

Waktu seperti berjalan dengan cepat. Padahal, dua puluh empat jam sehari tidak pernah kurang dan bertambah. Aku telah memutar waktuku sendiri dan detak jarum membawaku ke atas ketinggian Singapore Flyer. Dari sini, pemandangan seluruh kota tampak memesona. Bahkan, keindahan tiga negara tampak dari kapsul pengamatan ini.

Aku bisa melihat ikon-ikon Singapura dengan jelas. Masih ada rasa tidak percaya dengan hadiah dari Tuhan ini. Bianglala terbesar di Asia yang dulu hanya bisa kulihat dari gambar, kini aku berada di dalamnya. Mataku dimanjakan dengan landmark ikonis Singapura. Marina Bay, Singapore River, Raffles Place, Merlion Park, dan Empress Place. Bagian kecil Indonesia dan Malaysia juga tampak dari sini.

Tiba-tiba aku ingat Ibu dan Ayah. Aku menerka-nerka apa yang sedang mereka lakukan. Biasanya pada waktu pagi, mereka pergi ke ladang. Ayah pasti bersusah-susah dengan tongkat dan Ibu berjalan memapah di sampingnya. Ladang sepetak di dekat rumah itu adalah hasil dari kerja keras Ibu menjadi TKI di Singapura.

Aku rindu. Aku bayangkan tangan lembut Ibu yang sedang menyisir rambut panjangku dan Ayah sedang menjahit baju sekolahku yang koyak. Mereka duduk-duduk di teras rumah sambil mendendangkan lagu-lagu dan doa untukku. “Besok jadi orang sukses ya, Nak.” ***

.

.

Tanggamus, 24 Juni 2021

Penulis bernama Firman Fadilah. Buku cerpen pertamanya First Kiss (Guepedia, 2021). Bisa ditemui di fadilahfirman651@gmail.com

.

.

Arsip Cerpen di Indonesia